Tobi Yang (Hanya Sedang) Malang
by: Lek Tobirin SPd.
Laugh Your Way to Grace.
“Mereka yang bisa menertawakan diri sendiri tidak akan pernah berhenti terhibur.” Ben Renshaw.
Dengan menertawakan diri sendiri, kamu bisa berbagai
kebahagiaan kepada orang lain. Bukankah menyebar kebaikan dan kebahagiaan juga
termasuk ibadah?
Baca Pelan Saja........
Ga usah kesusu.....
Senja yang kau kirimkan sudah kuterima, kukira sama lengkap
seperti ketika engkau memotongnya di langit yang kemerah-merahan itu, lengkap
dengan bau laut, desir angin dan suara hempasan ombak yang memecah pantai. Ada
juga kepak burung-burung, lambaian pohon-pohon nyiur dalam kekelaman, sementara
di kejauhan perahu layar merayapi cakrawala dan melintasi matahari yang sedang
terbenam.
Aku pun tahu Tobi, senja yang paling keemas-emasan sekalipun hanya
akan berakhir dalam keremangan menyedihkan, ketika segala makhluk dan benda
menjadi siluet, lantas menyatu dalam kegelapan. Kita sama-sama tahu, keindahan
senja itu, kepastiannya untuk selesai dan menjadi malam dengan kejam. Manusia
memburu senja kemana-mana, tapi dunia ini fana Tobi, seperti senja. Kehidupan
mungkin saja memancara gilang-gemilang, tetapi ia berubah dengan pasti. Waktu
mengubah segalanya tanpa sisa, menjadi kehitaman yang membentang sepanjang
pantai. Hitam, sunyi dan kelam.
Rupa-rupanya dengan cara seperti itulah dunia mesti berakhir.
Senja yang engkau kirimkan telah menimbulkan bencana tak terbayangkan. Apakah
engkau tahu suratmu itu baru sampai sepuluh tahun kemudian? Ah, engkau tidak
akan tahu Tobi, seperti juga engkau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi
dengan senja yang kau kirimkan ini. Senja paling taik kucing dalam hidupku Tobi,
senja sialan yang paling tidak mungkin diharapkan manusia.
Senja ini baru tiba setelah sepuluh tahun, karena tukang pos yang
jahil itu rupanya penasaran dengan cahaya merah kemas-emasan yang memancara
dari amplop itu Tobi. Cahaya itu telah mengganggunya semenjak ia menggenjot
sepeda dari kantor pos, berkilau-kilau dan memancar di tas surat yang
tergantung di boncengan sepeda, begitu rupa sehingga cuaca siang hari menjadi
kacau, angin menderu dan ombak terdengar menghempas-hempas, meskipun ia
bersepeda mendaki bukit kapur. Demikianlah, maka ia suatu ketika berhenti. Dari
dalam tas itu terdengar suara-suara, ia buka tas itu, dan ia melihat amplop
Federal Express yang sudah tidak putih lagi melainkan merah keemas-emasan Tobi,
seperti senja dengan matahari terbenam di balik cakrawala. Tukang pos itu
mengambil amplop tersebut, menimang-nimangnya, agak berat juga. Maklumlah
bukankah amplop itu berisi senja Tobi? Senja dengan matahari merah membara yang
turun perlahan-lahan di balik cakrawala, seperti semua senja yanga ada di balik
kartu pos, tapi yang kamu kirim itu bukan kartu pos Tobi, yang kau kirim itu
senja di tepi pantai dengan hempasan ombak, bau laut dan angina yang asin. Kamu
pikir berapa ton beratnya pasir di sepanjang pantai itu Tobi? Kira-kira sedikit
dong! Masih lumayan tukang pos itu kuat menggenjot sepedanya mendaki bukit
kapur. Busyet. Kalo anak-anak kecil tahu ada matahari terbenam di dalam amplop
itu lantas bagaimana? Kau tahulah tobi, anak-anak di daerah bukit kapur begini
tidak punya mainan yang aneh-aneh seperti di kota. Mereka hanya tahu kambing
dan kerbau, ikan dan belut, sungai dan jagung. Nasi saja jarang meraka sentuh.
Anak-anak yang tidak pernah tahu mainan robot berjalan dengan cahaya didadanya
berkedip-kedip pasti akan penasaran sekali dengan cahaya senja yang memancar
berkilauan., berkilauan merah dan keemas-emasan itu Tobi.
Mereka tidak pernah melihatnya Tobi, karena tukang pos itulah yang
telah mendahului meraka. Ia menimang-nimang bungkusan berisi senja itu,
mendengar-dengarkan, dan akhirnya mengintip. Tentu saja didalam amplop itu
dilihatnya senja Tobi. Senja terindah yang paling mungkin berlangsung di muka
bumi. Ia mengintip dan terpesona. Ia buka amplop itu. Sebetulnya menurut kode
etik profesi itu tidak boleh. Tapi manusia manapun bisa melakukan kesalahan
bukan? Ia buka terus amplop itu, dan melihat senja dengan langit merah
kemas-emasan didalam sana, dan melihat mega-mega berpencar seperti perahu di
danau, memebrikan perasaan nyaman dan tenang.
Siapa yang tidak suka merasa nyaman dan tenang di dunia Tobi, di sebuah
dunia yang miskin masih bersimbah darah
pula? Maka jangan salahkan tukang pos itu Tobi, jika ia kemudian menjadi begitu
penasaran dan memasuki senja yang terbentang. Tidak ada yang tahu apa nasib
waktu(1). Ketika anak-anak akhirnya berkerumun di sekita sepeda yang tergeletak
itu, mereka hanya melihat cahaya senja yang kemerah-merahan yang semburat
membakar langit. Amplop itu hanya bocor sedikit, tapi akiatnya sudah begitu
rupa. Ini semua gara-gara kamu Tobi.
Tobi yang
malang, bodoh dan tidak pakai otak,
(Tapi pakai
Hari Nurani……)
Sepuluh tahun lamanya tukang pos itu mengembara didalam amplop,
kita tidak pernah tahu apa yang diklakukanya disana. Apakah dia kawin, beranak
pinak, dan berbahagia? Atau selama itu dia hanya duduk saja memandang matahari
terbenam dengan perasaan kehilangan, sementara langit yang tadinya merah
keemas-emasan perlahan-lahan menggelap kebiru-biruan – aku juga tidak tahu
bagaimana caranya menikmati senja di dalam amplop Tobi, sebuah ruang yang
sungguh-sungguh terdiri dari waktu. Apakah waktu bisa diulang atau bagaimana,
aku belum pernah memasuki senja di dalam amplop. Atau, apakah didunia ini
sebetulnya seperti didalam amplop ya Tobi, dimana kita tidak tahu apa yang
berada di luar diri kita, dimana kita merasa hidup penuh dengan makna padahal
yang menonton kita tertawa-tawa sambil berkata, “Ah, kasihan betul manusia.”
Apakah begitu Tobi, kamu yang suka berkhayal barangkali tahu. Tapi aku tidak
mau khayalan, aku tidak mau kira-kira, meskipun usaha kira-kira itu begitu
canggihnya sehingga disebut ilmiah, aku mau tahu yang sebenarnya. Apakah ada
yang menyaksikan kita sambil tertawa-tawa? Kalau iya, apalah artinya hidup kita
ini tobi? Tidakkkah nasib manusia memang seperti ikan, yang diternakkan hanya
unutk mengisi akuarium diruang tamu seseorang yang barangkali juga tidak
teralalu peduli kepada makna kehidupan ikan-ikan itu?
Aku tidak pernah tahu, tidak ada seorang pun yang tahu apa yang
dialami tukang pos itu didalam amplop, sampai ia keluar sepuluh tahun kemudian
dengan wajah bahagia. Ia sudah sepuluh tahun menghilang didalam amplop, tapi ia
tidak tampak betambah tua. Apakah waktu di dalam amplop tidak bergerak?
Tepatnya apakah senja didalam amplop tidak berhubungan dengan waktu? Apakah
tidak ada waktu di dalam amplop Federal Express itu? Hmm. Apakah aku harus
peduli dengan semua ini tobi, apakah aku harus peduli? Kamu betul betul
merepotkan aku Tobi, dasar lelaki tidak tahu diri.
Tobi yang
malang, goblok dan menyebalkan,
(Namun hoby
menciptakan kegembiraan, meski hambar)
Kamu tahu apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Tukang pos itu
tiba di depan rumah kami. Ya, rumah kami. Setelah sepuluh tahun banyak yang
terjadi dong Tobi, misalnya bahwa kemudian aku kawin, beranak pinak dan berbahagia. Jangan kaget.
Dari dulu aku juga tidak mencintai kamu Tobi. Dasar bego dikasih isyarat tidak
mau mendengarkan. Sekali lagi, aku tidak mencintai kamu. Kalau toh aku
kelihatan baik selama ini padamu, terus terang harus ku katakana sekarang,
sebetulnya aku cuma kasihan. Terus terang aku kasihan sama kamu Tobi, mencintai
begitu rupa tapi tidak tahu yang kamu cintai sebetulnya tidak mencintai kamu.
Makanya jangan terlalu banyak berkhayal Tobi, pakai otak dong sedikit, hanya
dengan begitu kamu akan selamat dari perasaan cintamu yang tolol itu. Tapi
bukan cinta taik kucing ini yang sebetulnya ingin ku ceritakan padamu Tobi. Soal cinta ini sama sekali tidak penting.
Kamu harus tahu apa akibat perbuatanmu ini Tobi, mengirim sepotong
senja untuk orang yang sama sekali tidak mencintai kamu. Tahu apa akibatnya?
Begitu tukang pos itu pulang, setelah menceritakan kenapa kiriman Federal
Express bisa terlambat sepuluh tahun, kubuka amplop berisi senja itu, dan
terjadilah semua ini. Apa kamu tidak tahu Tobi, senja itu meski cuma sepotong,
sebetulnya juga semesta yang utuh? Kamu kira matahari terbenam itu besarnya seperti
apa? Seperti apem? Kalau sepotong senja itu di dalam amplop terus sih tidak
apa-apa, tapi ini keluar dan lautnya membludag tak tertahankan lagi. Bagaimana
aku tahu amplop itu berisi senja Tobi? Aku bukan pengkhayal seperti kamu.
Hidupku penuh dengan perhitungan yang matang. Aku tahu betul untung rugi setiap
perbuatan, terutama apa untung ruginya untuk diriku sendiri. Betapa pentingnya
hidupku selamat, demi suamiku dan anak-anakku. Pura-puranya aku ini juga
perempuan yang setia. Itu pula sebabnya, sebelum maupun sesudah kawin aku tidak
sudi berhubungan dengan kamu Tobi. Lagi pula aku tidak mencintai kamu. Mau apa?
Tapi kamulah yang tidak tahu diri, mengirim senja tanpa kira-kira. Dunia ini
jadi berantakan tahu? Berantakan dan hancur lebur tiada terkira.
Setelah amplop itu kubuka dan senja itu keluar, matahari yang
terbenam dari senja dalam amplop itu berbenturan dengan matahari yang sudah
ada(2). Langit yang biru bercampur aduk dengan langit yang kemerah-merahan yang
terus menerus berkeredap menyilaukan karena cahaya keemas-emasan yang menjadi
semburat tak beraturan. Senja yang seperti potongan kue menggelegak, pantai
terhampar seperti permadani di atas bukit kapur, lautnya terhempas langsung membanjiri
bumi dan menghancurkan segala-galanya. Bisalah kau bayangkan Tobi, bagaimana
orang tidak panik dengan gelombang raksasa yang tidak datang dari pantai tapi
dari atas bukit?
Air bah membanjiri bumi seperti jaman Nabi Nuh. Dunia menjadi
gempar, tidak semua perahu yang ada cukup untuk seluruh umat manusia kan?
Lagipula sampai kapan kapal dan perahu itu bisa bertahan? Tiada satu kota pun
yang selamat, lautan dari senjamu yang membuat langit merah membara itu
menghempas dan membanjiri bumi dengan cepat sekali. Gedung-gedung pencakar
langit di setiap kota besar di seluruh dunia, gunung-gunung tertinggi di muka
bumi, semuanya terendam air. Tobi, bumi ini sekarang sudah terendam air.
Dimana-mana air dan langit senja tak kunjung berubah menjadi malam. Segalanya
kacau Tobi, gara-gara cintamu yang tak tahu diri.
Tobi yang
malang, paling malang, dan akan selalu malang,
Kota Malang,
Pemalang, Karang Malang, Kali Malang,
Opo maneh..?
Wes kui…
Aku menulis surat ini dengan kertas dan pena terakhir di dunia, di
atas puncak himalaya. Di depanku ada senuah sampan kecil dengan sepasang dayung
dan sebungkus supermi. Itulah makanan terakhir di muka bumi. Sisa manusia yang
menjadi pengembara lautan di atas kapal dan perahu telah mati semua, karena
kehabisan bahan makanan maupun mayat teman-temannya sendiri. Manusia memang
banyak akal, tapi menghadapi senja dari dalam amplop itu tidak ada jalan
keluar. Banyak orang mempertanyakan diriku, kenapa aku membuat dirimu begitu cinta
menggebu-gebu, padahal cinta secuil pun juga tidak, sehingga kamu mengirimkan
sepotong senja itu kepadaku, dan tumpah ruah membanjiri bumi. Tapi coba
katakan, tapi itu bukan salahku toh Tobi? Aku tidak mau disalahkan atas bencana
yang menimpa umat manusia. Mengapa cinta harus menjadi begitu penting sehingga
kehidupan terganggu? Ini bukan salahku.
Air laut kulihat makin dekat, setidaknya setengah jam lagi tempat
aku menulis surat ini sudah akan terendam seluruhnya. Aku akan naik perahu,
mendayung sampai teler, makan supermi mentah, lantas menanti maut. Akan ku
kirim kemana surat ini? Barangkali kamu pun sudah mati Tobi. Semua pengembara
di lautan sudah mati. Sedangkan di
puncak tertinggi di dunia ini tinggal aku
sendiri, dari hari kehari memandang senja yang selesai, dimana matahari
tidak pernah terbenam lebih dalam lagi. Semesta dalam amplop itu telah menjadi
pemenang dalam benturan dua semesta, namun semesta dalam amplop itu cuma
sepotong senja, sehingga dunia memang tidak akan pernah sama lagi. Kalu aku
mati nanti, bumi ini akan tetap tinggal senja selama-lamanya. Dengan matahari
terbenam separuh yang tidak pernah turun lagi. Langit merah selama-lamanya,
lautan jingga selama-lamanya, tetapi tiada seorang manusia pun memandangnya.
Segenap burung sudah punah karena kelelahan terbang tanpa henti. Tinggal
ikan-ikan menjadi penguasa bumi. Di kejauhan, ku lihat Ikan Paus Merah yang
menjerit dengan sedih.
Tobi,
(Nggih Pak……..)
Aku akan mengakhiri surat ini, akan ku lipat menjadi perahu
kertas, dan ku layarkan ke laut lepas.
Buakn tidak mungkin surat ini akan terbaca juga, entah bagaimana
caranya, namun siapa pun yang menemukannya akan membaca kesaksianku. Jika
tidak, aku pun tidak tahu apa nasib waktu(3). kupandang senja yang abadi sebelum
melipat surat ini. Betapau semua ini terjadi karena cinta, dan hanya karena
cinta – betapa besar bencana telah ditimbulkannya ketika kata-kata tak cukup
menampungnya. Kutatap senja itu, masih selalu begitu, seprti menjanjikan suatu
perpisahan yang sendu.
Selamat
berpisah semuanya. Selamat tinggal.
Selamat dating
dunia baru penuh warna…..
(Gunung
Pati, Kemis Kliwon, 7 September 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar